Minggu, 20 September 2009

EKSPOR SEMEN SEBAGAI ALTERNATIF PEMANFAATAN EKSES KAPASITAS PRODUKSI

Ekspor semen Indonesia mulai dirintis pada tahun akhir tahun 1978 sebagai antisipasi atas kelebihan kapasitas produksi yang telah mencapai 2,5 juta ton atau 37% terhadap kapasitas nasional sedangkan konsumsi semen nasional baru pada tingkat 4,1 juta. Kelebihan kapasitas produksi ini makin meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1985 kelebihan kapasitas produksi mencapai puncaknya pada tingkat 45%. Tahun-tahun berikutnya kelebihan kapasitas produksi menurun dengan makin meningkatnya konsumsi nasional disamping peningkatan ekspor yang terus berlangsung. Ekspor pada periode ini mencapai puncaknya dengan jumlah 4,1 juta pada tahun 1987. Pemerintah telah mendorong ekspor semen dan klinker dengan pemberian sertifikat ekspor dan yang kemudian diganti dengan pengembalian bea masuk untuk bahan-bahan impor yang dipergunmakan untuk memproduksi semen yang diekspor.


Dengan peningkatan konsumsi nasional yang terus menerus, pada periode 1990-1998 telah terjadi kelangkaan semen dipasaran akibat produksi didalam negeri sudah tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan semen di pasaran-pasaran utama. Dengan kondisi ini maka ekspor yang sebelumnya didorong sebaliknya ekspor semen malah dibatasi dengan keharusan memiliki ijin ekspor. Bahkan pada tahun 1996 ijin ekspor tidak diberikan kepada pabrik-pabrik khususnya yang berada di Jawa sebagai pasar dengan pangsa terbesar (70%) Untuk mendukung kebijaksanaan ini Pemerintah telah membebaskan bea masuk hingga nol persen baik untuk semen dan untuk klinker impor.


Pada tahun 1993 pemerintah telah membuka keran impor dengan terjadinya kelangkaan semen diberbagai daerah. Beberapa pabrik semen telah mengimpor klinker untuk mengoptimalkan produksi semennya dan bahkan mengimpor sendiri semennya untuk menutup kekurangan supplai pada daerah pemasarannya. Impor semen dan klinker mencapai puncaknya pada tahun 1996 yang berjumlah 2,4 juta ton termasuk impor klinker sejumlah 1,4 juta ton. Negara asal impor semen klinker tidak hanya berasal dari negara tetangga tapi juga berasal dari Korea Selatan, Jepang dan bahkan dari Eropa (Rumania, Italia, Junani) dan Amerika (Mexico).


Impor dalam jumlah terbatas masih berlangsung hingga tahun 2003 dan meningkat menjadi lebih dari 1,2 juta ton semen sejak pabrik semen Andalas Indonesia dilanda Tsunami pada akhir Desember 2004. Tahun-tahun ini hampir seluruhnya impor dilaksanakan oleh PT Semen Andalas Indonesia – Lafarge Group agar pabrik ini dapat mempertahankan pangsa pasarnya selamanya pabrik direnovasi. Diharapkan pada tahun 2009 impor ini akan dihentikan dengan mulai berproduksinya pabrik semen Andalas.

Grafik 1.

Ekspor kembali digalakkan pada tahun 1998 karena merosotnya konsumsi semen dalam negeri akibat krisis moneter. Ekspansi pabrik-pabrik semen yang berlebihan menjelang krisis telah menyebabkan makin melimpahnya surplus produksi. Pada tahun ini surplus produksi sudah mencapai 26 juta ton sedangkan kebutuhan semen dalam negeri hanya berjumlah 19 juta ton. Kelebihan kapasitas produksi sebesar 60% tahun 1999 hanya dapat diekspor sejumlah 19% nya sejumlah 9,05 juta ton. Seluruh pabrik semen kecuali PTSB telah berusaha untuk mengekspor semennya.Bahkan PTSK telah mencoba melaksanakan ekspornya ke Australia meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas.


Ekspor ini mencapai puncaknya pada tahun 2001 pada jumlah 9,5 juta ton atau 20% dari total kapasitas produksi yang terdiri dari 3,7 juta ton klinker dan 5,8 juta ton semen. Pada tahun 2008 ekspor ini menurun menjadi 4,9 juta ton yg terdiri 3,3 juta ton klinker dan 1,6 juta ton semen. Penurunan ekspor ini terjadi karena konsumsi domestik meningkat 4 juta ton (11%) sedangkan penambahan kapasitas produksi hanya meningkatkan surplus produksi dari 4% tahun 2007 menjadi 7% tahun 2008. Dengan ekspor yang berkurang 40% ini surplus kapasitas produksi tinggal 7% dari total kapasitas produksi yang sudah berada pada titik kritis. Secara nasional masih terdapat surplus produksi sekitar 3 juta ton setahun akan tetapi bila dilihat per daerah dan per bulan surplus produksi ini terlalu kritis untuk menjamin tidak terjadinya kelangkaan terutama di daerah yang jauh dari pabrik. Grafik1 memperlihatkan perkembangan ekses kapasitas produksi dari tahun 1990 sampai tahun 2008 dan ekspor merupakan alternatif untuk memanfaatkan ekse kapasitas produksi.

Grafik 2

Ekspor klinker sudah dimulai sejak tahun 1979 pada saat semen Indonesia sudah dikenal dipasaran internasional. Karena konsumennya pabrik penggilingan semen yang menggunakan bahan baku klinker maka spesifikasi yang diminta juga sangat khusus dan dikontrol oleh konsumen dengan ketat. Meskipun harga ekspor klinker lebih rendah dari harga semen dan acceptance konsumen sangat diperlukan, ekspor klinker Indonesia dari tahun ketahun makin banyak. Porsi volume ekspor klinker tahun-tahun terakhir lebih besar dibanding semen sejak pabrik-pabrik semen diambil alih oleh perusahaan global. Karena perusahaan-perusahaan ini juga memiliki pabrik-pabrik yang hanya menggiling semen saja maka komitmen mereka untuk tetap mensuplai klinker bagi pabrik-pabriknya akan menjadi prioritas utama. Hal ini terlihat dari grafik 1 dimana sejak tahun 2003 porsi ekspor klinker rata-rata mencapai 60% dari total ekspor bahkan pada tahun 2008 ekspor klinker mencapai 3,3 juta sedangkan semennya hanya 1, 5 juta ton. Grafik 2 memperlihatkan perkembangan porsi ekspor klinker sejak sepiuluh tahun terakhir.

Ekspor Tahun 2008

Ekspor Indonesia menurun dari 8,8 juta pada tahun 2007 menjadi 4,9 juta ton pada tahun 2008. Ekspor tahun 2008 ini terdiri dari semen 3,1 juta ton yang turun 1 juta ton dibanding tahun 2002 dan klinker 4,3 juta ton yang meningkat dibanding tahun 2002 sejumlah 3,8 juta ton. Penurunan ekspor terjadi karena peningkatan penjualan didalam negeri terutama karena meningkatnya pembangunan infrastruktur dan juga tutupnya pabrik semen Kupang.

Dengan menurunnya jumlah ekspor, Indonesia turun keperingkat 13 di dunia. Eksportir terbesar didunia selama enam tahun terakhir masih dipegang China dengan ekspornya yang diperkirakan sekitar 20-30juta ton. Thailand yang pernah menjadi eksportir semen/linker terbesar diunia tergeser pada posisi kedua

Pada tahun 2008 ekspor terbesar masih tetap PTITP dengan jumlah ekspornya sebesar 2,2 juta ton dan posisi kedua ditempat oleh PT Holcim Indonesia dengan jumlah ekspor 1,6 juta ton. PTSAI tidak lagi mengekspor, bahkan masih mengimpor semennya sejumlah 1,5 juta ton karena fasilitas produksinya baru akan dioperasikan pada pertengahan tahun 2009. PT Semen Gresik tidak lagi megekspor semennya karena hampir seluruh kapasitas produksinya dijual di dalam negeri yang harganya jauh lebih baik dari harga ekspor Dengan harga eceran yang pernah mencapai US$90 per ton dibandingkan harga ekspor FOB sekitar US$ 50,- per ton maka pabrik-pabrik semen akan lebih tertarik menjualnya didalam negeri.

Tabel 1 memperlihatkan jumlah ekspor semen dank linker per pabrik dalam periode 10 tahun terakhir.

Negara-negara tujuan ekspor tahun 2008 masih didominasi oleh Asia (62%) dengan 11 negara tujuan, Afrika pada posisi kedua (31%) dengan 13 negara tujuan, Eropa dan Australia & Pacifik pada posisi ketiga (7%) dengan 1 negara tujuan Eropa dan 4 negara tujuan Australia & Oceania. Dari tabel 2 dibawah memeprlihatkan bahwa tujuan ekspor utama tahun 2007 dan Tahun 2008 (sampai Oktober) adalah Srilanka dengan jumlah impor semen dan klinker tahun 2007: 1,6 juta ton dan sampai Oktober 2008: 0,9 juta ton, Ghana yang pada tahun 2007 pada posisi kedua dengan jumlah impor klinker dari Indonesia sebesar 1,1 juta ton turun pada posisi ketiga pada tahun 2008 dengan impornya sejumlah 0,6 juta ton sampai dengan Oktober . Bangladesh pada posisi kedua, dengan impor klinkernya sejumlah 0,8 juta ton sampai Oktober 2008 Malaysia pada posis keempat dengan impor semen dan klinker sampai Oktober 2008 sejumlah 0,5 juta ton. 16 negara tjuuan ekspor dala jumlah diatas 100,000 ton bisai d ilihat pada tabel 2

Tabel 2

Resesi global akibat krisis finansial di Amerika akan menyebabkan permintaan impor semen dan klinker tahun 2009 ini akan menurun di pasaran internasional. Untuk Indonesia menrunnya permintaan impor dan kemungkinan menurunnya konsumsi semen domestik sebagai dampak resesi global akan mengurangi tekanan terhadap pabrik-pabrik yang telah memanfaatkan kapasitas produksinya diatas normal. Beberapa pabrik akan mengurangi target ekspornya tahun 2009 dan mencoba bertahan pada posisi suplai domestik paling tidak sanma dengan tahun 2008 apalagi dengan adanya simulus dari pemerintah untuk lebih menggerakkan pembangunan sektor infrastruktur.

Sabtu, 19 September 2009

TATA NIAGA SEMEN MENYEBABKAN MAHALNYA HARGA SEMEN?


KPPU mengusulkan kepada Pemerintah untuk segera merombak tata niaga semen untuk menurunkan harga komoditas tersebut di pasar domestik. Pembenahan tata niaga itu akan mencakup pemangkasan jalur distribusi serta penurunan margin untuk mengatasi permasalah mahalnya harga semen.

Dengan tingginya harga semen yang terjadi, para pengembang mengakui dilematis karena 40% biaya produksi perumahan untuk belanja semen. Lonjakan harga semen ini dikhawatirkan juga mengancam proyek-proyek infrastruktur yang diharapkan menjadi lokomotif ekonorni di tengah krisis saat ini. Selama ini, harga semen menjadi parameter harga bahan bangunan lain seperti besi, baja, .pasir, dan beton. Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun Investor Daily dari Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Teguh Satria, Dirut PT Sarana Surya Kencana Adri lstambul, Marketing Manager PT Ciputra Surya Tbk, Agung Krisbimandoko, Manajer Pengembangan Bisnis PT Adhi Realty, Renny Soviahani, dan :Ketua:Umum Lembaga Pengembangan.Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Malkan Amin.

Berdasarkan data REI, harga semen di Indonesia mencapai US$ 91-100 per ton. Padahal, harga rata-rata semen di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa hanya berkisar US$ 75-80 per ton. "Padahal. kenaikan harga se¬men sebelumnya dipicu oleh tingginya harga minyak. Kini, setelah harga minyak anjlok, harga semen justru meroket. Yang jelas, saat ini harga semen di Indonesia paling mahal di.dunia" ujar Teguh Satria.

Berdasar data Departemen Perdagangan harga semen tidak menunjukkan kenaikan yang terus menerus naik dari bulan ke bulan seperti yang diisukan. Meskipun harga BBM telah turun hingga tiga kali tidak berarti biaya transport turun karena truck-truck pengangkut semen umumnya menggunakan solar, dan BBM untuk industri ditetapkan mengikuti harga minyak internasional. Kenaikan kembali harga minyak internasional yang semula hanya US$ 45 menjadi US$69 akhir-akhir ini telah menyebabkan kenaikan biaya produksi pada industri semen. Jadi isu penurunan harga minyak internasional tidak lagi relevan untuk saat ini.

Dalam keadaan kelesuan permintaan semen akibat krisis global menyebabkan sulitnya pabrik untuk menjual semen dan untuk menaikkan harga jualnya. Krisis global juga menyebabkan ekspor semen juga sulit. Untuk mengatasinya, pabrik-pabrik akan berusaha untuk tidak menambah idle capacity dengan menunda rencana ekspansi atau renovasinya. Sampai akhir Mei 2009 konsumsi semen telah turun sekitar 5% atau turun sekitar 12 juta ton.

Harga semen di Indonesia tidak dapat digolongkan mahal di dunia karena hanya negara yang melakukan campur tangan dalam perdagangan semen yang bisa menahan harga semen domestiknya dibawah US$ 100 per ton. Harga eceran semen per sak tidak mungkin dibandingkan dengan harga patokan semen eks pabrik di Malaysia atau harga semen curah di Amerika atau Eropa, apalagi bila dilihat luas wilayah Indonesia yang hampir sama dengan Eropah atau Amerika Serikat. Selisih yang besar antara harga semen di tingkat produsen, sekitar US$ 60-70 per ton dan ritel terjadi karena ongkos di tiga lapisan distributor bisa mencapai Rp 180 ribu per ton atau Rp 9.000 per zak (50 kg). Belum lagi, ongkos transportasi sebesar Rp 4.000 per zak (50 kg). Selain itu, biaya bongkar muat termasuk biaya pikul manual di pelabuhan dan gudang diperkirakan Rp1.500 per zak (50 kg). Kalau di luar negeri angkutan semen menggunakan kereta, tapi di sini masih pakai truk yang rentan menemui kongesti (kemacetan) karena jalan yang rusak dan pungli.

Dalam kaitan dengan harga semen yang dianggap mahal, pihak Departemen Perindustrian menegaskan tidak dapat melakukan intervensi ataupun menetapkan patokan harga semen karena penentuan harganya didasarkan pada mekanisme pasar. Intervensi harga oleh pemerintah hanya dapat dilakukan apabila komoditas bersangkutan mengandung dana subsidi dari APBN. Sementara itu, kebijakan tata niaga umumnya dilakukan untuk mengendalikan volume pasokan, terutama terkait dengan barang impor.

Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia Depperin Benny Wachjudi menjelaskan untuk menerbitkan aturan tata niaga, perlu ada pembahasan yang komprehensif. "Namun, sampai saat ini belum pernah terpikirkan oleh pemerintah untuk mengeluarkan tata niaga semen," paparnya, Menurut Benny, tingginya harga semen yang dirasakan konsumen saat ini, khususnya kalangan perusahaan yang bergerak di sektor properti, semata-mata dipicu oleh faktor biaya produksi yang melonjak terutama ongkos energi seperti batu bara dan listrik.

Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia Depperin Benny Wachjudi menjelaskan harga semen di dalam negeri sulit turun karena harga bahan baku berupa batu kapur masih cukup tinggi. Begitu pula dengan harga batu bara untuk proses pembakaran di tungku (kiln) mulai bergerak naik. Selain itu, tarif dasar listrik untuk industri masih tergolong tinggi dibandingkan negara lain, sehingga biaya produksi secara keseluruhan akan membuat level harga semen tinggi.

Berdasarkan kalkulasi Depperin, komponen batu bara berkontribusi 40%-50% dari total biaya produksi, sedangkan listrik berkisar 10%-15%. "Dengan harga batu bara di atas US$70 per ton, maka harga semen tidak mungkin diturunkan." Menurut dia, harga semen dalam kemasan (kantong) dari pabrik paling tinggi sekitar US$60 per ton. Namun, dengan panjangnya rantai distribusi yakni distributor utama, distributor, dan subdistributor, menyebabkan harga semen di pasar domestik menjadi lebih tinggi yakni sekitar Rp50.000-Rp55.000 per sak di tingkat pengecer di Pulau Jawa. Setiap distributor semen, katanya, rata-rata memperoleh margin laba sekitar Rp6.000- Rp9.000 per sak. Pada sisi lain, sistem transportasi darat yang tidak efisien membuat biaya angkut menjadi kurang kompetitif bahkan mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan ongkos pengangkutan kapal ke Timur Tengah yang hanya US$30 per ton.

Harga semen di pasar domestik dinilai masih cukup kompetitif karena berada di bawah rata-rata harga di kawasan regional. "Dengan kondisi ini, tidak ada alasan bagi produsen untuk menurunkan harga jual," ujar Presiden Direktur PT Semen Gresik (Persero) Tbk Dwi Soetjipto kemarin. Dia menjelaskan harga semen di pasar dalam negeri justru masih jauh di bawah rata-rata harga di Vietnam dan Filipina yang mencapai di atas US$75 per ton. "Logikanya, kalau harga semen di dalam negeri tinggi sampai US$100 per ton, maka semen impor akan membanjiri pasaran dong, terlebih tarif bea masuknya 0%." Namun, kata dia, nyatanya semen impor tidak pernah berani masuk ke Indonesia karena kalah kompetitif. Ini merupakan indikator bahwa pasar semen domestik cukup sehat karena volume pasokan dapat dipenuhi produsen lokal dengan level harga sesuai dengan mekanisme pasar," katanya.

Ketua Asosiasi: Semen Indonesia (ASI) Urip Timuryono menyatakan, harga semen saat ini belum dapat turun karena harga batu-bara belum turun setajam minyak mentah.. Saat ini, harga batu bara rnasih sekitar US$ 60 per ton dibanding tahun lalu sebesar US$.70,- per ton. Sementara itu, harga minyak mentah yang turun sampai US$ 45 per barel dari posisi tertinggi USS 174 per barel pada bulan Agusts 2008 telah merambat naik kembali menjadi sekitar US$ 70 saat ini
Meski begitu, menurut Urip, produsen semen kemungkinan tidak menaikkan harga jual pada tahun ini menyusul rnelemahnya permintaan. Berdasarkan data ASI, pasar semen nasional per Februari 2008 terpangkas 3,2% menjadi 5,6 juta ton dibanding periode sama tahun lain sebesar 5,7 juta ton.

Urip mengakui, harga semen untuk pasar domestik lebih tinggi ketimbang pasar ekspor. Selama ini, produsen semen menjadikan pasar ekspor sebagai alternatif untuk melempar sisa produksi yang tidak terserap di pasar domestik. Hal senada diungkapkan Kepala Divisi Komunikasi PT Semen Gresik Tbk (SG Grup) Saefudin Zuhri. Dia sependapat, harga semen belum dapat turun mengingat harga batubara masih tinggi. Saat ini. sekitar 90-99% biaya energi produsen semen digunakan untuk membeli batubara guna membakar klinker.

Menurut Saefudin, harga semen di pasar domestik saat ini mencapai Rp 50 ribu per zak (50 kg) atau sekitar USS 100 per ton. Harga semen domestik di tingkat ritel sudah memasukkan margin distributor, biaya pengantungan (bag), dan transportasi ke toko bangunan. Sementara itu, harga semen ekspor di pelabuhan muat (freight on Board/FOB) hanya US$ 50-55 per ton. Namun, harga itu bakal membengkak jika semen sudah mendarat di pelabuhan tujuan karena terdorong oleh ongkos angkut. "Ongkos angkut ke Eropa bisa US$ 80 per ton," jelas Saefudin.

Urip dan Saefudin memastikan tindak ada kartel di industri semen nasional. Besaran harga ditentukan oleh rnekanisme pasar. Harga semen antar pabrikan yang satu dengan yang lain berbeda-beda. "Di Jawa Barat, harga Semen Gresik lebih rnurah Rp 750 ketimbang Holcim. Sebaliknya, harga Semen Gresik di Jawa Timur lebih mahal Rp 1.000 ketimbang Holcim," jelas Saefudin.

Saefudin menjelaskan, penguasaan pasar semen di masing-masing provinsi berbeda. Di Jawa Timur dan Semarang, Semen Gresik menguasai pasar, sedangkan pasar semen di Jawa Barat dikuasai Indocement dan Sumatera dikuasai Semen Padang. Penetapan harga semen juga dipengaruhi ongkos angkut dan fanatisme konsumen. Konsumen di Jatim dan Sumbar lebih fanatik kepada produk Semen Gresik dan Semen Padang," jelas dia.

Meski harga minyak mentah mengalarni penurunan, dia menegaskan, harga batubara yang merupakan bahan bakar utama produksi semen masih tetap tinggi. "Jadi sangat sulit kalau kami harus memelopori penurunan harga semen sepanjang harga batubara masih tinggi," terang Saefudin.

Kepala Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Departemen Pekerjaan Umum (PU) Sumaryanto Widayatin menilai, gejolak harga semen itu belum mempengaruhi stabilitas pembangunan infrastruktur di Indonesia, terutama proyek-proyek yang dikerjakan dengan dana APBN. "Saya kira gejolak itu belum terasa buat kita," katanya. Dia memastikan proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh pemerintah tetap berjalan sesuai target dan tidak boleh ada proyek infrastruktur yang mandek akibat gejolak harga semen ini. "Proyek pemerintah masih tetap berjalan terus, kami sedang menghitung proyek yang menggunakan material semen," jelasnya.

Harga semen yang dilaporkan masih dijual mahal di beberapa wilayah Sulut, adalah salah satu faktor yang menghambat pembangunan di daerah-daerah tertentu. Padahal pemerintah bekerja sama dengan pabrikan serta distributor semen telah menetapkan harga semen di setiap kabupaten dan kota yang ada, namun tetap saja harga semen di beberapa tempat masih tinggi. Menyikapi akan hal ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sulut mendesak Pemerintah Propinsi untuk segera menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Semen, agar para pengecer atau toko yang menjual semen di atas HET dijerat oleh hukum yang berlaku. Ketua YLKI Sulut, Aldy Lumingkewas, mengatakan, selama ini memang belum ada piranti hukum yang kuat, bila para pengecer menjual semen di atas HET. Aturan HET yang dikeluarkan Pemerintah melalui Disperindag Sulut masih sebatas pada kesepakatan, belum ada penetapan. Oleh karena itu Pemerintah Propinsi dalam hal ini Gubernur Sulut, supaya secepatnya mengeluarkan SK harga semen, sehingga piranti hukum tidak lemah, dan para pengecer yang nakal takut menjual harga semen di atas HET.

Sementara itu Kasubdin Perdagangan Dalam Negeri, Janny Rembet SE, mengatakan, akan memikirkan hal tersebut. Menurut Rembet ketetapan SK tersebut tidaklah gampang harus ada persetujuan menteri terlebih dahulu, karena pasti akan mempengaruhi tata niaga semen hingga ke daerah lainnya. Selama ini semen di Sulut harganya sudah membaik, tidak sebanding tahun lalu yang rata-rata dijual pengecer di atas Rp 50 ribu per sak, sekarang hanya tinggal masalah distribusi yang harus dibenahi. Selain itu, penetapan HET juga bisa berdampak pada daerah lainnya, seperti misalnya daerah yang sulit dijangkau karena kesulitan transportasi, maka pemerintah harus memikirkan untuk memberikan subsidi penjualan semen di daerah terpencil. “Mudah-mudahan bila pendistribusian semen sudah lancar maka kebutuhan semen akan terpenuhi secara keseluruhan dan harga semen dipastikan akan normal kembali,” kata Rembet.

Usulan untuk merombak tataniaga semen adalah sangat bertolak belakang dengan sistim mekanisme pasar, dimana masing-pasing pabrik berhak untuk menentukan tataniaga masing-masing yang dianggap paling efektif dan efisien. Dengan menentukan tataniaga sendiri maka diharapkan masing-masing pabrik semen akan kompetitif dalam arena persaingan bebas. Campur tangan pemerintah dalam tata niaga semen berati kembali kezaman orde baru dimana harga eceran dipatok pada tingkat tertentu, dan yang sering terjadi adalah kelangkaan semen dan melonjaknya harga melampui harga patokan. Kelangkaan dan kenaikan harga bukan mengharuskan tataniaganya yang harus dirombak, melainkan lebih karena ketidak lancaran distribusi baik karena cuaca yang kurang menunjang atau karena prasarana yang masih buruk.